Di masa lalu ada
seorang guru bijak yang selalu menyelenggarakan kuliahnya di bawah sebuah pohon
tinggi dan besar menjulang ke langit. Dan suatu hari ketika kelas sepi anak
laki-laki dari guru itu bertanya pada ayahnya, “ayah, dari manakah langit, bumi dan seluruh sisinya?”.
Kemudian sang ayah memintanya mengambil buah yang sudah kering dan banyak berserakan
di bawah pohon itu, lalu memintanya untuk membelahnya dan melihat isinya.
Ketika sang anak
menemukan sebuah biji kering di dalamnya, sang ayah memintanya untuk terus
membelahnya hingga ia akhirnya menemukan bahwa biji itu ternyata kosong, hampa,
tidak berisi apa-apa. Sang ayah kemudian menjelaskan, “seperti pohon raksasa
yang sudah berusia ratusan tahun ini, segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini bermula dari sesuatu yang tidak ada, hampa, dan kosong.”
“Bahwasannya kita di
awali dengan hal yang tidak ada, hampa, dan kosong pastilah ada Sang Pencipta
yang ‘merancang’ semua ini nak.” , sang ayah meneruskan. Sang anak pun bertanya
kembali, “ayah pantaskah kita menjadi manusai yang sombong? Mausia yang ingin
tercapai semua keinginannya di dunia ini?”.
“kebanyakan orang
menyakini vahwa dalam hidup ia harus berjuang meraih semua keinginannya dengan
berusaha keras, membanting tulang hingga tetes darah penghabisan padahal
tuntunan agama menjanjikan berbagai kemudahab yang akan datang jika dalam
ikhtiarnya manusia berhasil bersyukur, menikmati prosesnya, dan menyerahkan
seuruh urusan dan kepentingan hanya kepada Tuhan, inilah kompetensi ikhlas nak.”,
jawab sang ayah dengan lemah lembut.
Ketika manusia
benar-benar ikhlas, saat itulah doa atau niatnya ‘berjabat tangan’ melakukan
kolaborasi dengan energi vibrasi quanta. Sehingga, melalui mekanisme kuantum
yang tak terlihat, kekuatan Tuhanlah yang sebenarnya sedang bekerja. Jika sudah
demikian, siapakah yang mampu menghalangi-Nya?