Langit tetap cerah. Sapaan orang-orang shalih tetap terdengar merdu. Qur'an tetap menjadi penunjuk jalan. Berbeda memang dengan kondisi hati yang sebenarnya lemah. Ingin menangis
kencang di depannya. Ingin berharap bahwa ia mendengar rintihan hati
ini. Rintihan yang tertalu takut untuk menjadi sebuah ucapan lantang nan
berani.
Namun sang hati masih tetap kuat. Bukan, namun mencoba untuk tetap terjaga.
Bunga mawarmu boleh lah layu di telan masa. Atau karena pemiliknya
kurang apik dalam menjaga. Namun kisah, sejarah, tak akan pernah luput
dari ingatan, bahwa dulu aku pemilik mawar itu.
Terima kasih untuk cinta yang pernah kau beri. Inilah aku yang menjadi
lemah karenanya. Ketahuilah bahwa beribu bidadari menunggumu di depan
pintu. Aku ini, hanya penipu. Tak lebih dari itu.
Kau tersadar dan pergi, tak ingin aku menahan. Berbeda dengan bunga mawar, yang memang tak bisa aku menahannya.
Namun kau harus tahu, bagaimana rasa bahagia ini, sedih ini, saat tahu
kau menyimpan rasa padaku. Rasa, yang aku sendiri tak paham, bolehkah?
Halalkah? Ah, daripada dua hal itu yang terlalu berat, aku sadar untuk
bertanya, pantaskah? Duhai, lelaki yang tangguh dalam menjaga din-Nya.
Percayalah, bahagiaku, adalah melebihi bahagiamu. Namun dukaku mungkin
tak ada apa-apanya dibandingkan dukamu. Itu kini. Karena boleh jadi kau
mencintaiku karena Allah, sehingga kau pun meninggalkanku karena Allah.
Tapi lihatlah di masa yang akan datang nanti, jika Allah menghendaki.
Kau akan menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini! Bersama
bidadari sholihah yang paling beruntung dipinang olehmu, wahai yang ku
hormati.
Kisah ini mungkin akan mati ditelan masa, namun untukku sejarah tetaplah
sejarah yang tak boleh mati karena setiap gerak dalam sejarah, memiliki
amanah yang mampu menjadi pelajaran hidup hingga mati nanti.
isma